Rabu, 01 Juni 2011

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DITINJAUDARI HUKUM

A. PENGERTIAN PERNIKAHAN

“Pernikahan” menurut istilah ilmu Fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaj”.

“Nikah” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari “nikah”, ialah “dham”, yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah “watha” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti “mengadakan perjanjian pernikahan”. Dalam pernikahan bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan “nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini

Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Pernikahan, yang dimaksud pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUH Perdata, tidak memberikan pengertian pernikahan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti pernikahan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa “pernikahan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”.[1] Dan menurut Scholten pernikahan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.[2]

Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal pernikahan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui pernikahan perdata sebagai pernikahan yang sah, berarti pernikahan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Lihat pasal 26 Kitab undang-undang Hukum Perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa pernikahan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[3]

Jadi pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Pernikahan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan pernikahan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan tersebut.

B. HUKUM PERNIKAHAN DENGAN PASANGAN YANG BERLAINAN AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF ATAU UNDANG-UNDANG

1. Peraturan Hukum (Positif) di Indonesia

Terdapat kesulitan tersendiri dalam merumuskan secara pasti peraturan masalah nikahbeda agama bagi umat islam di Indonesia. Peradilan Agama sebagai peradilan bagi orang-orang yang beragama islam yang diantarannya mempunyai sumber hukum dari HIR/R.Bg., Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan, dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) diantaranya tidak mengatur tentang pernikahan beda agama.[4]

Berkaitan dengan pendapat yang sering dianut oleh para Hakim Pengadilan Agama yang menganggap tidak boleh dilakukannya pernikahan beda agama , baik antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim atau sebaliknya perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim. Pendapat demikian disandarkan pada KHI pada pasal 40 butir c, yang berbunyi:

Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria dengan seorang

wanita karena keadaan tertentu:

(c) seorang wanita yang tidak beragam islam

Dan KHI pada pasal 44, yaitu:

Seorang wanita islam dilarang melangsungkan pernikahan dengan

seorang pria yang tidak beragama islam.[5]

Larangan tersebut menjadi lebih kuat karena Undang-undang Pernikahan (UUP) No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: Pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamannya dan kepercayaannya itu. Disamping itu juga merujuk UUP pasal 8 (f), yakni: Pernikahan dilarang antara dua orang yang: (f) mempunyai hubungan yang oleh agamannya atau peraturan lain berlaku, dilarang kawin.[6]

Pertimbangan pelarangan pernikahan beda agama dalam KHI antara lain: Pertama, pandangan bahwa pernikahan beda agama lebih banyak menimbulkan persoalan, karena tedapat beberapa hal prinsip yang berbeda antara kedua mempelai. Dalam hal ini memang terdapat pasangan pernikahan yang berbeda agama dapat hidup rukun dan mempertahankan ikatan pernikahannya, namun yang sedikit ini dalam pembinaan hukum islam belum dijadikan acuan. Karena hanya merupakan eksepsi (pengecualian). Kedua, KHI mengambil pendapat-pendapat Ulama di Indonesia dan termasuk juga didalamnya adalah pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI).[7]

Dasar hukum pernikahan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :

1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2. UU No. 1/1974 tentang Pernikahan

3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama

4.PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974

5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan pernikahan antar pemeluk agama dalam bab larangan pernikahan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan pernikahan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.

Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa pernikahan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan pernikahan antar agama.

Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, pernikahan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang- undangan tentang pernikahan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi pernikahan antar agama.

Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang pernikahan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu pernikahan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Pernikahan Indonesia Kristen dan peraturan pernikahan campuran. Secara contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.

Mengenai pernikahan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang pernikahan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, pernikahan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi.[8] Dan tata cara pernikahan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

Dalam memahami pernikahan beda agama menurut undang-undang Pernikahan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pendapat pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa pernikahan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa pernikahan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam pernikahan campuran – merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa pernikahan campuran adalah pernikahan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia - dengan argumentasi pada pasal 57 tentang pernikahan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur pernikahan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa pernikahan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan pernikahan beda agama dapat merujuk pada peraturan pernikahan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang pernikahan.[9]

Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa pernikahan campuran atau pernikahan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan pernikahan beda agama dengan alasan pernikahan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa pernikahan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.[10]Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Pernikahan tentang pernikahan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika pernikahan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.[11]

Dalam praktek pernikahan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.[12]

2. Fenomena Wacana Ormas Keagamaan

a. Nahdhatul Ulama (NU)

Nahdhatul Ulama secara resmi belum pernah membahas masalah pernikahan beda agama . Jika diteliti kembali pembahasan masail diniyyah (masalah-masalah agama) dari hasil sidang-sidang dalam Mukhtamar NU ke-1 tahun 1926 di Surabaya sampai Mukhtamar NU ke-29 tahun 1994 di Tasikmalaya tidak ditemukan pembahasan kasus pernikahan beda agama.[13]

b. Muhammadiyah

Secara umum, Muhammadiyah dalam masalah pernikahan beda agama sama dengan jumhur (mayoritas) fuqaha. Laki-laki muslim tidak dibenarkan mengawini perempuan musyrik, sedangkan perempuan muslimah juga tidak dibenarkan dikawini dengan laki-laki musyrik atau Ahli Kitab.

Namun, mengenai laki-laki muslim menikahi wanita Ahli kitab, semula Muhammdiyah cenderung sepakat dengan pendapat para Ulama yang membolehkan berdasarkan pengkhususan QS. al-Maidah ayat 5. pada awalnya lembaga ini mengeluarkan argument bahwa Nabi sendiri pernah nikah dengan Maria Qibtiyah seorang perempuan Nasrani Mesir, disamping itu juga banyak dari Sahabat yang melakukan praktek pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab.[14]

Tapi kemudian ada beberapa pertimbangan lain. Menurunya, hukum mubah (boleh) harus dihubungkan dengan alasan mengapa pernikahan itu boleh. Hal ini tidak terlepas karena salah satu hikmah dibolehkannya laki-laki muslim nikah dengan perempuan Ahli Kitab bagi Muhammadiyah adalah untuk berdakwah kepada mereka dengan harapan bisa mengikuti agama suaminya (islam). Namun, jika keadaan justru sebaliknya, maka hukum mubah bisa berubah jadi haram.[15]

c. Majelis Ulama Indonesia

Pada tanggal 1 Juni tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa berkaitan dengan pernikahan beda agama . Fatwa tersebut merupakan tindak lanjut dari pembicaraan mengenai pernikahan beda agama yang telah dibicarakan sebelumnya pada Konferensi Tahunan pada tahun 1980. fatwa tersebut menghasilkan dua buti ketetapan sebagai berikut:

Pertama, bahwa seorang perempuan islam tidak diperbolehkan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki bukan islam. Kedua, bahwa laki-laki muslim tidak diizinkan mengawini seorang perempan bukan muslimah, termasuk pula Kristen (Ahli Kitab).[16]

Hingga pada fatwa MUI terbaru yang diterbitkan pada tahun 2005 yang lagi-lagi mengangkat kembali larangan pernikahan beda agama menjadi salah satu klausul dari sebelas klausul yang terkandung dalam fatwa tersebut.

  1. PANDANGAN AGAMA-AGAMA TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA

1. Pandangan Agama Islam

Pandangan Agama Islam terhadap pernikahan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang pernikahan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :

Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGtƒ ÇËËÊÈ

“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah: 221)

Larangan pernikahan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk nikahdengan orang-orang yang tidak beragama Islam.[17]

2. Pandangan Agama Katolik

Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan pernikahan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa pernikahan antar seseorang yang beragama katholik dengan orang yang bukan katholik, dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah.

Disamping itu, pernikahan antara seseorang yang beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik bukanlah merupakan pernikahan yang ideal. Hal ini dapat dimengerti karena agama Katholik memandang pernikahan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali Hindu) tidak demikian karena itu Katholik menganjurkan agar pengahutnya nikahdengan orang yang beragama katholik.[18]

3. Pandangan Agama Protestan

Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya nikahdengan orang yang seagama, karena tujuan utama pernikahan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman. Dalam hal terjadi pernikahan antara seseorang yang beragama Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987:2), maka mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada umumnya gereja tidak memberkati pernikahan mereka.

Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati pernikahan campur ini beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan.

Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman.

Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah anggota gereja yang nikahdengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja.[19]

4. Pandangan Agama Hindu

Pernikahan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Menurut Dde Pudja, MA (1975:53), suatu pernikahan batal karena tidak memenuhi syarat bila pernikahan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara pernikahan itu dilakukan, atau dalam hal pernikahan antar agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan suatu pernikahan menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat untuk itu. Di samping itu tampak bahwa dalam hukum pernikahan Hindu tidak dibenarkan adanya pernikahan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande.

Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya pernikahan antar agama. Hal ini terjadi karena sebelum pernikahan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan pernikahan, hal ini melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi:

“Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari pernikahan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggal bunuh diri”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak boleh dan pendande/Pendeta akan menolak untuk mengesahkan pernikahan tersebut.[20]

5. Pandangan Agama Budha

Pernikahan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan pernikahannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual pernikahan, kedua mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan pernikahan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.

Di samping itu, dalam upacara pernikahan itu kedua mempelai diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat pernikahan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek pernikahan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan.[21]

  1. TINJAUAN TAFSIR DAN FIKIH PERNIKAHAN BEDA AGAMA

A. Deskripsi Teks Al-Qur an

Secara tekstual terdapat tiga ayat yang secara khusus membicarakan pernikahan antara orang muslim dengan non-muslim dalam al-Qur an, yaitu QS. al-Baqarah: 221, al-Mumtahanah: 10, dan al-Mâidah: 5.

Pertama, al-Qur an surat al-Baqarah ayat 221:

Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGtƒ ÇËËÊÈ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Kedua, Al-Qur an surat al-Mumtahanah ayat 10:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ÌÏù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÊÉÈ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Ketiga, Al-Qur an surat Al-Mâidah ayat 5:

tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ

“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas nikahmereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”.

Dari bunyi teksnya, tiga ayat di atas memiliki makna yang bertingkat. Ayat pertama melarang kaum (mukhatab / audience / pengikut Muhammad) mengawini orang musyrik, maupun sebaliknya. Ayat kedua mengungkapkan larangan perempuan mukmin dikawinkan dengan laki-laki kafir. Ayat ketiga memperbolehkan (mukhatab / audience / pengikut Muhammad) mengawini perempuan Ahli Kitab.

Istilah-istilah seperti Musyrik, Kafir, dan Ahli Kitab adalah istilah yang rumit dan bertingkat. Untuk memberikan kajian yang lebih mendalam difokuskan pada ayat yang disebut pertama, al-Baqarah ayat 221. Tentu dua ayat yang lain akan tetap dibahas, namun sekadar sebagai penjelas ayat pertama. Yang menjadi pertimbangan, memilih ayat pertama sebagai acuan utama adalah karena ayat tersebut merupakan ayat paling kuat yang dijadikan dasar konstruksi larangan nikahbeda agama. Selain itu, ia memuat kompleksitas masalah yang menarik dijadikan fokus, misalnya dari sisi asbâb an-nuzul (latar turunnya ayat).

Surat al-Baqarah diturunkan di Madinah, sehingga ia dikelompokkan ke dalam wahyu madaniyyah, penamaan surat al-Baqarah yang berarti lembu betina, diambil dari legenda yang diuraikan dalam ayat ke 67 sampai 74 tentang perintah Nabi Musa kepada masyarakat untuk menyembelih sapi (baqarah). Sebagian besar ayat-ayat dalam surat al-Baqarah diturunkan pada tahun 1-2 H. Surat al-Baqarah secara umum membicarakan masyarakat Yahudi dan perlawanan mereka terhadap pengikut Muhammad

Apabila diperhatikan dari ruku ke ruku[22] tampak dengan jelas surat al- Baqarah memberikan porsi yang cukup besar mengenai reaksi terhadap tradisi dan

sistem keyakinan Yahudi. Surat al-Baqarah terdiri dari 286 ayat yang diklasifikasikan menjadi 40 ruku . Pada ruku kelima mulai membicarakan bangsa Israel yang diberitahu bagaimana al-Qur an memenuhi ramalan yang terdapat dalam kitab suci mereka, ruku keenam mendeskripsikan sikap keras kepala orang-orang Yahudi, dan kemudian disusul dengan tiga ruku lagi yang membicarakan kemerosotan martabat bangsa Israel, kecenderungan mereka menuju sapi, serta kebengisan dan pelanggaran mereka terhadap perjanjian. ruku kesebelas menggambarkan penolakan mereka kepada Nabi Muhammad. ruku kelima belas memperingatkan bangsa Israel tentang perjanjian mereka dengan Nabi Ibrahim, yaitu tentang dibangkitkannya seorang Nabi dari keturunan Ismail.

Sedang dalam ruku kedua puluh sampai ruku ketiga puluh satu mengemukakan perbedaan-perbedaan aqidah (teologi) dan syari at antara Islam dan Yahudi seperti prinsip umum tauhid, ketentuan tentang makanan, hukum qishas, wasiat, perjanjian pernikahan, perceraian dan masalah janda. Sementara ayat 221 dinarasikan dalam ruku kedua puluh tujuh didahului empat ayat yang membahas pertanyaan seputar syari at secara khusus membahas larangan pernikahan dengan orang-orang musyrik.

Sebab turun al-Baqarah ayat 221 menjadi polemik tersendiri di kalangan ahli tafsir al-Qur an dari generasi ke generasi. Hal ini dipicu oleh adanya dua periwayatan yang berbeda mengenai sebab turunnya ayat tersebut, yaitu:

1. Periwayatan Pertama

Diriwayatkan oleh Ibnu al-Munzhir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi dari Muqatil ia berkata: ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan kasus Abu Martsad al- Ghanawi atau Martsad bin Abi Martsad yang meminta izin kepada Nabi SAW untuk mengawinkan Inaq seorang perempuan musyrik. Lalu diturunkannya ayat

Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 .Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman[23]

Sayangnya tidak didapatkan kepastian asbâb an nuzul yang dimaksud di sini hanya untuk penggalan ayat tersebut atau untuk satu ayat penuh. Tetapi bila dilihat polemik berikutnya, kemungkinan besar kelompok yang memegangi riwayat ini, memaksudkan satu ayat penuh.

Kelompok ini mendeskripsikan lebih lanjut bagaimana hadist yang diriwayatkan oleh al-Wahidi dan yang lainnya dari jalur Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah SAW mendelegasikan seorang laki-laki kaya bernama Martsad ibn Abi Martsad anggota persekutuan Bani Hasyim ke Mekkah yang bertugas membantu evakuasi orang-orang muslim secara rahasia. Dahulu ketika masih jahiliyah (di Mekkah) ia mempunyai seorang kekasih bernama Inaq. Tapi setelah masuk Islam Martsad meninggalkan kekasihnya tersebut, pada suatu ketika Inaq mendatangi Martsad dan berkata: Wahai Martsad mengapa kita berpisah? Martsad menjawab sesungguhnya Islam telah memisahkan diriku dan dirimu serta mengharamkan (hubungan) kita, tapi jika engkau masih menghendakiku untuk mengawinimu maka setelah saya pulang kehadapan Rasulullah SAW, saya akan mohon izin kemudian mengawinimu. Kemudian Inaq berkata: engkau telah mengecewakanku. Lalu Inaq menjerit dan berdatanglah orang-orang untuk memukul Matsad dengan pukulan yang keras dan lalu membiarkannya pergi.

Setelah menyelesaikan tugasnya di Mekkah ia menghadap Rasulullah SAW untuk melaporkan urusannya (semula) dan urusan Inaq Martsad berkata: Ya

Rasulullah halalkah diriku mengawininya. Kemudian turunlah ayat ini.[24]

2. Periwayatan Kedua

Al-Wahidi meriwayatkan dari jalur As-Suddi dari Malik dari Ibnu Abbas dia berkata, ayat “poYÏB÷sB ×ptBV{urditurunkan berkaitan dengan kasus Abdullah ibn Rawâhah menyesal (atas perlakuannya tersebut) lantas mendatangi Nabi SAW, ia menceritakan kepada Nabi SAW. Dan berkata: Sungguh saya akan memerdekakan dan mengawininya. Setelah itu ia melaksanakan tekadnya itu. Sebagai imbasnya, banyak orang mencerca Abdullah ibn Rawâhah karena mengawini budak, kemudian turunlah ayat tersebut.[25]

As-Suyuti (w. 911 H) menulis, QS. al-Baqarah ayat 221 memang memiliki dua asbâb an nuzul seperti di atas. Ia menambahkan bahwa Ibnu Jarir meriwayatkan dari As-Suddi bahwa riwayat yang kedua di atas adalah munqati (terputus).[26] Sedangkan Al-Wahidi (w. 468 H) sendiri juga menulis demikian dalam kitab asbâb an nuzul. Hanya saja ia mencantumkan rawi (periwayat) hadist lebih terperinci matan (redaksi) hadist lebih detail, tapi masih dalam satu pengertian dengan yang di atas.[27]

Menurut Rasyid Ridha, meskipun zhahir teks ayat “poYÏB÷sB ×ptBV{ur” sampai “Nä3÷Gt6yfôãr& öqs9ursepertinya memang diturunkan dalam peristiwa yang berlainan dengan peristiwa diturunkannya teks ayat “ `ÏB÷sムӮLym M»x.ÎŽô³ßJø9$# #qßsÅ3Zs? wur

tapi sebenarnya ayat ini diturunkan dalam satu peristiwa yang sama. Al-Alusi (w. 1310 H) juga berpendapat demikian. Ia mengulas pendapat As-Suyuti sendiri dalam pendahuluan kitabnya, bahwa kasus Abdullah bin Rawahah bisa saja hanya contoh penafsiran dari teks ayat “poYÏB÷sB ×ptBV{urdst. Yang dikonstruk dan popular di kalangan sahabat.[28]

  1. Pernikahan Beda Agama Dalam Fiqih

Bagi para ahli hukum Islam (fuqaha), teks QS. Al-Baqarah (2): 221 dipandang memberikan sebuah muatan hukum tersendiri dalam bidang pernikahan. Ayat-ayat hukum al-Qur an biasanya diderivasikan secara rinci-aplikatif menjadi bentuk-bentuk ketetapan fiqih. Pada penelitian ini QS. al-Baqarah (2): 221 dijadikan dasar utama dalam mengkontruksi ketentuan larangan nikahbeda agama.

Di bawah ini akan dikaji nikahbeda agama dalam pespektif fiqih. Kajian ini akan merujuk pada dua kitab fiqih. Pertama, Kitab al-Fiqh Alâ al-Madzâhib al- Arba ah karya Abdurrahman al-Jaziri untuk melihat pendapat para fuqaha yang berafiliasi pada empat madzhab besar Sunni. Kedua, Kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq untuk melihat pendapat Ulama modern.

Secara umum, pada dasarnya dua kitab fiqih di atas tersebut mengharamkan pekawinan muslim dengan non-muslim namun demikian ada beberapa pengecualian terutama akibat ketentuan khusus dari QS. Al-Mâidah ayat 5 sehingga menjadikan pergeseran tingkat hukum haram menjadi makruh, mubah atau lainnya pada kasus laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli Kitab. Berikut penjelasan sebagaimana yang dimaksud:

  1. Perempuan Muslim Dengan Laki-Laki Non Muslim

Semua Ulama sepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan

(haram) nikahdengan laki-laki non muslim, baik Ahli Kitab maupun musyrik.

Pengharaman tersebut selain didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 221 juga

didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah ayat 10 yaitu:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ÌÏù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÊÉÈ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Sayyid Sabiq menyebutkan beberapa argumen sebab diharamkannya perempuan muslim nikahdengan laki-laki non-muslim sebagai berikut:

  1. Orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS. An-Nisa ayat 141 artinya dan Allah tak akan memberi jalan orang kafir itu mengalahkan orang mukmin.
  2. Laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang muslimah, malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari ajaran Nabi. Sedangkan Ahli Kitab dapat mengerti agama istrinya sebab ia mengimani kitab dari Nabi-Nabi terdahulu.
  3. Dalam rumah tangga tidak mungkin suami istri hidup bersama dengan perbedaan (keyakinan).[29]

  1. Laki-laki Muslim Dengan Perempuan Musyrik.

Para Ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim nikahdengan perempuan penyembah berhala (musyrik). Perempuan musyrik disini mencakup perempuan penyembahan berhala (al-watsaniyyah), zindiqiyyah (ateis), perempuan yang murtad, penyembah api, dan penganut aliran libertin (al-ibahah), seperti paham wujudiyah.[30]

  1. Laki-laki Muslim Dengan Perempuan Ahli Kitab

Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan (halal) mengawini perempuan Ahli Kitab. Hal demikian berdasarkan pengkhususan QS. al-Mâidah ayat 5. pengertian Ahli Kitab disini mengacu pada dua agama besar maupun rumpun semitik sebelum islam, yakni Yahudi dan Nasrani.

Ibnu Munzhir berkata:

“Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-laki muslim mengawini wanita Ahli Kitab). Qurtuby dan Nu as mengatakan: Di antara Sahabat yang menghalalkan antara lain; Utsman, Thalhah, Ibnu Abbas, Jabir, dan Hudzaifah. Sedangkan dari golongan Tabi in yang mengharamkan antara lain; Sa id ibn Mutsayyab, Sa id ibn Jabir, al- Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah, Sya bi, Zhahak dan lain-lain”.

Sayyid Sabiq mencatat hanya ada satu Sahabat yang mengharamkannya, yakni Ibnu Umar. Di antara sahabat ada yang mempunyai pengalaman mengawini perempuan Ahli Kitab. Utsman r.a. nikahdengan Nailah Binti Qaraqishah Kalbiyyah yang beragama Nasrani, meskipun kemudian masuk islam, Hudzaifah mengawini perempuan Yahudi dari penduduk Madain, Jabir dan Sa ad ibn Abu Waqas pernah nikahdengan perempuan Yahudi dan Nasrani pada masa penaklukan Kota Makkah (fathul makkah).[31]

Sementara pendapat fuqaha empat madzhab Sunni tentang laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli kitab adalah sebagai berikut:

a. Madzhab Hanafi

Para ulama madzhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli Kitab yang berdomisi di wilayah yang sedang berperang dengan islam (dâr al harb). Hal demikian dikarenakan mereka tidak tunduk pada hukum orang-orang islam sehingga bisa membuka pintu fitnah. Seorang suami muslim yang nikahdengan perempuan Ahli Kitab dikhawatirkan akan patuh terhadap sikap istrinya yang berjuang memperbolehkan anaknya beragama dengan selain agamannya. Suami tersebut akan memperdaya dirinya sendiri serta tidak lagi menghiraukan pengasingan dari pemerintah Negara (islam) nya.

b. Madzhab Maliki

Pendapat madzhab Maliki terbagi menjadi dua. Pertama, mengawini perempuan Ahli Kitab, baik di dar al-harb maupun dzimmiyyah hukumnya makruh mutlak. Hanya saja kemakruhan pada dar al-harb kualitasnya lebih berat. Kedua, tidak makruh mutlak, sebab zahir QS. al-Mâidah ayat 5 membolehkan secara mutlak. Tetapi tetap saja makruh sebab kemakruhannya berkaitan dengan dar al-islam (pemerintahan islam).

c. Madzhab Syafi’i

Fuqaha madzhab Syafi’i memandang makruh mengawini perempuan Ahli Kitab yang berdomisili di dar al-islam, dan sangat dimakruhkan bagi yang berada di dar al-harb, sebagaimana pendapat fuqaha Malikiyah. Fuqaha Syafi’iyah memandang kemakruhan tersebut apabila (1) tidak terbesit calon mempelai laki-laki muslim untuk mengajak perempuan Ahli Kitab itu masuk Islam, (2) masih ada perempuan muslimah yang shalih, (3) apabila tidak mengawini Ahli Kitab itu ia bisa terperosok pada perbuatan zina.

d. Madzhab Hambali

Laki-laki muslim diperbolehkan dan bahkan sama sekali tidak dimakruhkan mengawini perempuan Ahli Kitab berdasakan keumuman QS. al-Mâidah ayat 5. namun, disyaratkan agar wanita tersebut adalah wanita merdeka.[32]

4. Laki-laki Muslim Dengan Perempuan Shabi ah, Majusi dan Lainnya

Selain menyebut Yahudi dan Nasrani, al-Qur an juga beberapa kali menyebutkan pemeluk agama Shabi ah (QS. al-Baqarah: 26, QS. al-Mâidah: 69, QS. Al-Hajj: 17), Majusi (QS. Al-Hajj: 17) serta orang-orang yang berpegang pada suhuf (lembaran kitab suci) Nabi Ibrahim yang bernama syit, dan suhuf Nabi Musa yang bernama Taurat (QS. al- A la:19) dan kitab Zabur yang diturunkan pada Nabi Dawud.

Mengenai perempuan Shabi ah, para fuqaha Madzhab Hanafi berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk Ahli Kitab, hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan palsu. Mereka dipersamakan dengan pemeluk Yahudi dan Nasrani, sehingga laki-laki mukmin boleh mengawininya. Sedangkan para fuqaha Syafi iyah dan Hanabilah membedakan antara Ahli Kitab dan penganut agama Shabi ah. Menurut mereka orang-orang Yahudi dan Nasrani sependapat dengan Islam dalam hal-hal pokok agama membenarkan Rasul-Rasul dan mengimani kitab-kitab.[33]

Adapun tentang mengawini perempuan Majusi, Abdurahman ibn Auf (w. 31 H) berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda, perlakukanlah

mereka (pemeluk majusi) seperti memperlakukan Ahli Kitab. Logikanya, mereka bukan termasuk Ahli Kitab dan haram mengawininya. Tetapi Abu Tsur berpendapat lain. Ia menghalalkan mengawini perempuan Majusi karena agama mereka juga diakui dengan berlakunya membayar jizyah (pajak) sebagaimana yang diberlakukan kepada orang Yahudi dan Nasrani

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dari semua pemaparan yang penulis sampaikan di atas dari sini kita dapat menarik satu simpulan bahwa berdasarkan al-Quran surat al-Mumtahanah ayat 10, dan al-baqarah ayat 221. Bahwa pernikahan beda agama dalam ajaran Islam tidak benar dan hukumya haram.

Memang, apabila dilihat pada hukum agama-agama yang diakui di Indonesia, pada prinsipnya agama-agama tersebut tidak menghendaki adanya pernikahan antara agama.

Kini masalah pernikahan beda agama, ini juga aneh, kenapa kebanyakan yang melakukan protes dan tidak setuju terhadap UU No. 1 tahun 1974 yang memang tidak mengatur pernikahan beda agama itu, teryata dari golongan Nasrani. Artinya jika ia seorang praktisi hukum atau ahli hukum atau kalangan akademis, lembaga atau media masa atau apapun, jika dilacak jati dirinya teryata mereka dari golongan Nasrani.

Rupanya para tokoh Kristen dan Katolik menyadari mission mereka akan terganggu dalam kerangka Kristenisasi, jika seluruh umat Islam dengan dipacu UU Peradilan agama itu lantas menjadi taat kepada agamanya, taat kepada hukum Islam, maka mereka tidak bisa dibujuk lagi masuk Kristen. “iming-iming” apapun tidak akan mempan. Lagi pula, dalih orang Kristen bahwa di Indonesia banyak warga yang mengaku Islam tapi tidak beribadah dengan menjalankan syari’at yang benar (dengan istilah non-practising moslem) akan tipis, sehingga lahan mereka melakukan Kristenisasi pun akan terbendung secara tidak langsung dengan lahirnya UU Peradilan Agama ter-sebut. Itulah sebabnya mereka bagai kebakaran jenggot menentang RUU-PA. (Media Dakwah, Oktober 1993, h. 14).

Di Indonesia pernikahan beda agama sesungguhnya sudah diatur secara gamblang di dalam UU Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 UU tersebut dikatakan, “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.”

Secara tidak langsung, berdasarkan pasal tersebut pernikahan dianggap sah bila kedua pasangan menganut agamanya yang sama. Jika berlainan agama, dengan sendirinya pernikahan tidak dapat dilangsungkan alias dianggap batal secara hukum.

Belakangan, UU itu berusaha terus digoyangkan oleh kelompok-kelompok yang merasa dirugikan, terutama kelompok Nasrani. Beberapa waktu lalu sebuah kelompok mengatasnamakan ‘Konsorsium Untuk Catatan Sipil’ melakukan kampanye untuk merevisi UU Pernikahan. Tidak itu saja, kelompok ini bahkan sudah menyiapkan draf UU Catatan Sipil untuk mensahkan pernikahan beda agama.

Di dalam draf tersebut ada pasal yang mewajibkan Kantor Catatan Sipil, memcatat pernikahan antar dua orang, meskipun mereka beda agama dan kepercayaan. Konsorsium memandang, Kantor Catatan Sipil bertugas untuk keperluan administrasi negara, bukan mencampuri masalah agama. “Ini bukan masalah agama tetapi masalah HAM,” kata koordinator Konsorsium Soelistyowati Soegondo di kantor Komnas HAM, Jakarta. Konsorsium ini memang tidak bekerja sendiri. Tetapi dibentuk atas kerja sama dengan Unicef (Badan PBB untuk pendidikan), dan perwakilan LSM dari dalam dan luar negeri.

Abdurrahman Wahid – alias Gus Dur, tokoh NU, termasuk penentang UU Pernikahan. Gus Dur, malah memberi saran kepada calon-calon pengantin yang beda agama agar menikah di luar negri. Baru setelah pulang mencatatkan di Kantor Catatan Sipil sebagai pasangan yang sah. Dan belakangan acara ini menjadi tren tersendiri, terutama oleh kalangan berduit seperti selebritis.

Misalnya, pasangan Ira Wibowo dengan Katon Bagaskara, Yuni Sara, kakak penyanyi Krisdayanti. Kabarnya, kini ada 5 ribu pasangan beda agama yang antri di Singapura untuk melakukan pernikahan. Anehnya, setelah pulang ke Indonesia, pemerintah mengakui mereka sebagai pasangan suami istri yang sah. Kalau mau konsekuen, mestinya Pemerintah menanggapi mereka, lantaran melakukan zina, karena pernikahan campurnya tidak sah.

Celakanya, media massa baik elektronik maupun cetak ikut mensosialisasikan kawin campur ini. Dalam banyak tayangan dan pemberitaan, para pelaku kawin campur digambarkan sebagai pasangan yang selalu bahagia dan harmonis. “Padahal kampanye pernikahan beda agama yang kini sedang disosialisasikan, sebenarnya juga (termasuk) metode kristenisasi, “kata Abu Deedat. Lebih jauh, kelompok pendukung kawin campur juga berusaha memcari pijakan teologis. Mereka menggandeng para intelektual Muslim untuk melakukan re-interpretasi ayat-ayat al-Quran yang melarang kawin campur. Bertemulah mereka dengan kelompok Islam Liberal (Kajian Utan Kayu) yang dipimpin Ulil Abshar Abdalla. Lewat jaringan media massa yang mereka miliki, Kajian Utan Kayu gencar mensosialisasikan kawin campur. (Hartono Ahmad Jaiz, Op. Cit. ,h.227-228).

Maka dalam hal ini diperlukan sikap kritis dan obyektif dalam memandang suatu pemikiran, aliran atau paham tertentu, terutama yang sudah sering disoroti sebagai sesat, melenceng, atau nyeleneh. Karena bukan tidak mengkin ada sebab-sebab atau maksud-maksud tersembunyi di balik eksistensi suatu paham atau pemikiran. Entah itu karena motifasi duniawi yang ingin mengejar kekayaan harta benda, faktor ambisi kekuasaan, ingin sensasi dan terkenal, hendak memecah belah umat, atau memang dikarenakan ketololan sipemimpin itu sendiri, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita bisa bersikap dewasa dalam mengahadapi paham dan pemikiran yang dianggap nyeleneh, melenceng, sesat tersebut serta tidak mudah tertipu untuk larut tersesat di dalamya.

Mudah-mudahan umat Islam terhindar dari tingkah sangat buruk yang amat berbahaya dan telah kekecam oleh Allah SWT itu. Hanya Allah-lah tempat kita berlindung dan meminta pertolongan. Jauhkanlah kami ya Allah dari segala keburukan, yang lahir maupun yang batin. Amien. Tiada daya dan upaya untuk menghindari aneka keburukan yang mereka sebar-sebarkan itu kecuali dengan pertolongan-Mu, ya Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdallah, Ulil Abshar (2007) (Menolak Tunduk Pada Teks) dalam Memahami Hubungan Antar Agama,. Ed, Burhadun Dzikri, Yogyakarta

Al-Jabiry, Abdul Mutaal (1988) Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Jaziri, Abdurrahaman, (1988), Kitâb al-Fiqh ‘Ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Libanon: dâr al-Fikr.

As-Suyuti, (t.t), Lubab an-Nuqûl Fi Asbâb An Nuzul Cet. 2; Riyad: Maktabah Ar Riyad Alhadistah.

Al-Wahidi, (1968), Asbâb an-Nuzûl Kairo: Dâr al-Ittihâd al-Arabi Li Attab’ah

Eoh, O.S, Sh, MS. , Pernikahan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. ke-1

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, 1997

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Bandung, Alumni, 1985

P.N.H. Simanjuntak, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999

O.S., Eoh, Kawin Campur Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Srigunting, 1996)

Abduraman, (1992), Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo.

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesi (Jakarta: Rajawali Press, 1995)

Yanggo, DR,H & Hafiz Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996

Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Mukhtamar dan Munas Nahdhatul Ulama (Surabaya: Dinamika Press, 1997)

Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, Juz. II (Bairut: Dâr Al-Kitab al-Arabi, 1985)

Abdurrahaman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala al-Madzâhib al-Arba ah



[1]. Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta,

1997, h.94

[2] . R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Bandung, Alumni, 1985, h.31

[3]. P.N.H. Simanjuntak, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999, h. 56

[4] Lihat O.S., Eoh, Kawin Campur Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Srigunting, 1996) 36-37

[5]Lihat lampiran pasal-pasal KHI dalam Abduraman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992) 122-123.

[6]Lihat Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-undang

Pernikahan

[7]Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesi (Jakarta: Rajawali Press, 1995) 345

[8]. Masfuk Zuhdi,Ibid, h. 3

[9]. Yanggo, DR,H & Hafiz Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996, h. 17-18

[10]. Lihat Masfuk Zuhdi,Ibid, h.3

[11]. Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, 2002, h. 95

[12]. Ibid, h. 95

[13] Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Mukhtamar dan Munas Nahdhatul Ulama

(Surabaya: Dinamika Press, 1997)

[14] Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, ---143- 145

[15] Ibid, 146.

[16] Mohammad Atho Muzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993) 99

[17] Eoh, O.S, Sh, MS. , Pernikahan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. ke-1 Hal: 117

[18] Ibid.118-119

[19] Ibid. 122-123

[20] Ibid. 124-125

[21] Ibid. 125

[22] ruku disini adalah sub-sub bahasan (tema) dalam sebuah surat

[23]Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al Manâr, Jilid 2 (Bairut: Dâr Al-Fikr, t.t), 247

[24] Ibid. 347-348

[25] Ibid.

[26]As-Suyuti, Lubab An Nuqûl Fi Asbâb An Nuzul (Cet. 2; Riyad: Maktabah Ar Riyad Alhadistah, t.t), 34-35

[27]Al-Wahidi, Asbâb An Nuzûl (Kairo: Dâr al-Ittihâd al-Arabi Li Attab ah, 1338 H / 1968 M) 45-46.

[28] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al Manâr, Jilid 2 (Bairut: Dâr Al-Fikr, t.t), 347-348.

[29]Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, Juz. II (Bairut: Dâr Al-Kitab al-Arabi, 1985) 105-106.

[30] Ibid. 99

[31] Ibid. 101

[32]Abdurrahaman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala al-Madzâhib al-Arba ah 76-77.

[33] Ibid. 104