Rabu, 01 Juni 2011

KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA DAN KONFLIK SOSIAL



1. Pengertian masyarakat majemuk dan konflik sosial

  1. Masyarakat majemuk

Masyarakat majemuk (prulal) bukan merupakan suatu keunikan masyarakat atau bangsa tertentu. Dalam kenyataan, tidak ada suatu masyarakat prulal yang benar-benar tunggal, uniter (unitary), tanpa ada unsure-unsur didalamnya. Ada masyarakat yang bersatu, tidak terpecah-pecah. Tetapi keadaan bersatu. Tetapi keadaan bersatu tidak dengan sendirinya berarti kesatuan atau ketunggalan yang mutlak. Sebab, persatuan itu dapat terjadi, dan justru kebanyakan terjadi, dalam keadaan berbeda-beda (Bhineneka tunggal ika).

  1. Konflik sosial atau ritus konflik

Konflik yang berubah menjadi kerusuhan pada dasarnya sangat unik dan menarik untuk di kaji, karena bersifat local, particular, dan kadang memiliki implikasi etnis dan agama yang mencolok. Selain memiliki sifat yang unik, peristiwa kerusuhan itu memiliki ciri umum, antara lain bersifat missal, muncul secara spontan dan sporadis, tempo kerusuhan yang sangat sigkat, cenderung menggunakan aksi kekerasan, brutal, beringas vandalistic dan destruktif.

Sekalipun kerusuhan itu bersifat lokal dan berlansung dalam waktu sigkat, akan tetapi dampak yang ditimbulkan sangat dahsyat dan mengerika. Secara psikologis, masyarakat pada umumnya merasa cemas dan khawatir terhadap ancaman yang timbul dari kerusuhan itu. Lebih-lebih kerusuhan demi kerusuhan sering memiliki kecendrungan kearah tindakan anarkis, sehingga apabila tidak seger dicegah dapat menggoncangkan ketentraman, keamanana dan ketertiban kehidupan masyarakat luas.

Rene girard dalam bukunya La violence et le sacre(Mutiara, 1988) Menggali ritus konflik (atau kekerasan) ini dalam masyarakat primitive berdasarkan mitologi Yunani dan kitab suci Kristen. Ada beberapa ciri yang menandai ritus konflik, yaitu; (1) ritus konflik seringkali irasional. Jika obyek yang dituju tidak dapat diraih, ia akan mencari korban pengganti. Korban ini dipilih karena alasan mudah diserang dasn jarak obyek itu dekat; (2) ritus konflik dilaksanakan untuk menjaga ekuilibrium social masyarakat dari kejahatannya; ini mendesak komunitas itu untuk mencari korban di luar dirinya. Antara subtitutif dan kounitas ikatan sosialnya hilang, sehuingga komunitas dapat menjadikannya korban tanpa da perasaan takurt akan adanya pembalasan. Fungsi esensial ritus konflik dengan demikian adalah mengakhiri kekerasan dalam masyarakat dan menciptakan tindakan preventif terhadap ledakan konflik. Ritus kekerasan menjadi instrumen preventif terhadap kekerasan masyarakat; hampir tidak ada diferensiasi antara korban binatang manusia, baik yang berjiwa atau yang tidak berjiwa, dan dalam banyak kasus yang satu disubstansikan untuk yang lain. Semakin hebat krisis yang ada, semakin khususu ritus yang di perlukan. Ritus konflik berfungsi mempolarisasi agresivitas komunitas dan mengerahkan pada korban actual atau yang seringkali dipakai adalah korban figuratif.

2. Fungsi kehadiran konflik

Sering dikatakan bahwa konflik merupakan salah stu bentuk pratologi sosial. Oleh sebaba itu, banyak pendapat yang menyebutkan, kalau di dalam masyarakat terjadi konflik, ia harus segera diatasi dan kalau perlu dibrantas sampai keakar-akarnya agar tidak mengancan stabilitas. Namun, apakah dalam konteks masyarakat yang semakin modern dan semakin demokratis, pandangan terhadap konflik seperti itu tetap bisa terus dipertahankan? Jawabannya ternyata tidak. Karena dalam masyarakat seperti ini konflik telah menjadi bagian yang bersifat intern dengannya.

Dalam masyarakat yang semakin maju ini kesadaran akan hak-hak pribadi semakin kuat, sehingga munculnya diferensiasi pandangan, sikap, kehendak, ataupun kepentingan menjadi tak terelakkan. Konflik merupakan ekspresi pertentangan yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan. Karena itu dalam kadar yang ringan, konflik bisa berupa perbedaan pendapat atau kehendak antara satu orang dengan orang lain, atau satu kelompok denganm kelompok lainnya. Dalam kaar sedang, konflok bisa memnyulut terjadinya demontrasi, pengajuan petisi, atupun pemogokan-pemogokan. Sedangkan dalam kadar berat, konflik bisa menjelma dalam bentuk-bentuk pertentangan terbuka seperti kerusuhan, maker, kudeta, revolusi, bahkan perang saudara.

Menurut Mark R Amstutz (Ipong, 1996), di samping konflik memeiliki beberapa fungsi yang negatif, ternyata ia juga memepunyai sejumlah fungsi positif. Fungsi-fungsi negatifnya, diantaranya konflik akan bersifat destruktif bila telah bergerak kea rah yang menciptakan ketidaktertiban dan instabilitas, menyulut persengketaan dan kekacauan, serta menjadi sumber penghambat bagi tercapainya kebijakan dan pengambilan keputusan yang efisien. Sedangkan fungsi-fungsi positifnya, antara lain ialah bahwa konflik dapat mencegah terjadinya bentrok yang lebih serius, sebagai pemacu kreatifitas dan inovasi masyarakat, sarana memepercepat kohesi sosial, dan merupakan alat pengendali (mutual control) antar anggaota masyarakat dan antara pemerintah dengan masyarakat yang diperintah. Abdurahman Wahid (1985) menyebut konflk sosial sebagai persyaratan mutlak mengatasi ketimpangan yang semakin tajam. Karenanya, mencegah terjadinya konflik justru dinilai melestarikan kepincangan sosial.

Wallahu a’lam

*Mahasiswa Program Strata Satu Universitas Islam negeri

Sunaan Gunung Djati Bandung Jurusan Pendidilkan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kabupaten Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Moh. HR. Songge,(2000) Pesan Rislah masyarakat madani(Agama dan Konflik sosial, mediacita: jakarta

Nurcholish Madjid,(2008) Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar